Hari
selanjutnya, sebelum bel masuk, Jonathan sengaja menemui Rosalie di loker gadis
itu. Dilihatnya Rosalie sedang mengeluarkan klarinet dari dalam loker.
“Eh,
hai, Jo?” sapa Rose, seperti biasa, sambil memamerkan senyum manisnya. “Sedang
apa kau di sini?”
“Kebetulan
lewat.”
“Jam
pertama apa?”
“Bahasa
Inggris. Kau sendiri?”
Rosalie
mendekatkan klarinetnya ke wajah Jonathan. “Apa aku terlihat seperti akan
membedah kodok di laboratorium dengan klarinet ini?”
Jonathan
tertawa. Gadis ini, selalu bisa membuatnya tertawa. “Ya, ya. Aku tau. Kelas
musik. Tapi kenapa kau memilih klarinet? Sementara kau adalah seorang dewi
piano.”
“Tak
usah memujiku. Aku hanya tertarik dengan klarinet. Aku ingin mencoba hal-hal
yang baru.” Rosalie menutup pintu loker setelah mengambil buku partiturnya.
“Oke. Sampai ketemu nanti siang.”
“Eh,
tunggu sebentar, Rose!” Jonathan menangkap tangan Rosalie. “Sebenarnya, aku mau
tanya. Apa nanti siang kita masih akan belajar di ruang musik lagi? Ehm,
maksudku, kita tak akan belajar di ruang kelas lagi, kan?”
“Tentu
saja. Kita akan bertemu di ruang musik lagi nanti siang.”
“Oh,
baguslah.”
Rosalie
menatap Jonathan dengan aneh, lalu senyum jahil terkembang di bibirnya. “Jo,
bilang saja kau memang mencariku.”
“Eh,
apa?”
“Kau
sengaja datang menemuiku kan?”
“Tidak.
Aku sudah bilang, aku hanya kebetulan lewat sini.”
“Aku
tau kau bohong.” Senyum Rosalie makin lebar. “Oke, terserah kau saja lah. Tapi
sepertinya sudah terlihat siapa yang akan kalah dalam taruhan yang dibuatnya
sendiri.”
***
Kata-kata
Rosalie membuat Jonathan kehilangan konsentrasi di kelasnya. Jujur saja, dia
memang sengaja menemui Rosalie untuk sekedar melihat senyum gadis itu. Apa itu
berarti sesuatu?
“Ck,
aaah...” umpatnya jengkel dan tanpa sadar tangannya menggebrak meja.
“Ada
yang salah, Jonathan?” tanya Mrs. Stacy tiba-tiba.
“Ya,”
sahut Jonathan.
“Maukah
kau memberitahu kami apa yang salah?” Mrs. Stacy berjalan mendekatinya dengan
wajah galak.
“Ada
yang salah dengan perut saya. Permisi.” Tanpa menatap gurunya lagi, Jonathan
menyambar buku-bukunya di atas meja dan tas ranselnya, lalu berjalan keluar
kelas. Ia menelusuri koridor dengan cepat sambil memasukkan buku-bukunya ke
dalam tas.
“Jo?”
Mendadak ada yang menegurnya dari belakang. Suara gadis itu membuat Jonathan
balik badan.
“Rose? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“Seharusnya aku yang bertanya.” Rosalie berjalan mendekat dan berhenti di hadapan Jonathan.
Matanya menatap ransel cowok itu. “Sekarang belum bel pergantian pelajaran. Apa
kau membolos?”
“Aku
bosan di kelas bahasa Inggris. Dan aku heran deh. Setiap saat kita bicara
menggunakan bahasa Inggris. Untuk apa dipelajari lagi? Yang penting kita bisa berkomunikasi
dengan baik dan benar, kan?”
“Jo...”
Rosalie memutar bola mata dengan jengkel. “Kau ini sungguh keterlaluan.”
“Tapi
kata-kataku benar, kan?” Jonathan membela diri.
“Memang.
Tapi...”
“Ayolah,
Rose,” desah Jonathan. “Jangan menasihatiku lagi seolah aku ini anak balita
yang selalu melakukan kesalahan dalam segala hal.”
Rosalie
mengerutkan kening. “Bukankah memang begitu?”
Jonathan
memajukan bibirnya dengan jengkel. Tanpa membalas kata-kata Rosalie, ia balik
badan meneruskan langkah. Rosalie mengejarnya. Mereka berjalan dalam diam
sepanjang koridor sekolah yang sepi.
“Jadi,
sedang apa kau tadi? Kenapa tak di kelas?”
“Eh,
ehm, aku...” Rosalie menjadi gugup. “Aku sedang ke toilet tadi.”
Jonathan
meliriknya. “Kau pikir kau bisa membohongiku?”
“Apa
maksudmu?” Rosalie tersentak.
Pucat
di wajah gadis itu membuat Jonathan tertawa. “Aku tau apa tujuanmu keluar
kelas.” Cowok itu tersenyum lebar. “Kau ingin membolos juga, kan?”
“Apa?
Tidak! Itu tidak benar,” bantah Rosalie.
“Lalu,
kenapa kau tidak kembali ke kelasmu? Kelas musik berlawanan arah dengan langkah
kita sekarang.”
Saat
Rosalie kehabisan ide untuk menjawab, tiba-tiba saja mereka berpapasan dengan
Mr. Hansen, guru piket yang terkenal garang.
“Oh,
sial,” umpat Jonathan.
“Jonathan!
Kau membolos lagi!” bentak Mr. Hansen.
“Ya.
Itu memang hobiku,” jawab Jonathan santai.
“Dan
kau, Rosalie!” Mata tajam Mr. Hansen menyambar Rosalie.
“Anda
tau Rosalie bukan siswa pembolos, Sir,” kata Jonathan, berusaha membela dan
menghindarkan Rosalie dari masalah.
“Kenapa
kau masih di sini?” tanya Mr. Hansen tanpa mempedulikan Jonathan.
“Maafkan
saya, Sir. Saya baru saja akan keluar. Selamat pagi.” Rosalie mengangguk sopan
dan melangkah pergi.
Jonathan
menatapnya dengan bingung. “Apa dia...”
“Ikut
saya sekarang!” potong Mr. Hansen dengan tegas.
“Oke,
oke,” gerutu Jonathan.
***
Saat
memasuki ruang musik siang itu, Rosalie terkejut mendapati Jonathan sudah duduk
di dalamnya.
“Hei,”
sapanya kaget. “Boleh aku tau ada masalah apa sehingga kau datang lebih awal
dariku?”
“Ya.”
Jonathan melipat tangan di depan dada. “Duduklah.”
“Pasti
masalah di koridor pagi tadi.” Rosalie meletakkan tasnya dan duduk di hadapan
Jonathan. “Tak perlu khawatir. Tadi pagi aku memang sudah izin ke guru piket
untuk meninggalkan jam pelajaran.”
“Kemana?
Sepanjang hari ini kau tak terlihat. Bahkan saat jam makan siang tadi.”
“Jo,
kau mencariku?” Senyum jahil di bibir Rosalie seperti pagi tadi terkembang
lagi.
“Yah,
begitulah.” Jonathan mengangkat bahu dengan salah tingkah. “Aku hanya
bertanya-tanya kemana kau pergi.”
“Aku
menjenguk saudaraku di rumah sakit. Dan baru saja aku tiba di sini.”
“Kenapa
lama sekali?”
“Rumah
sakitnya jauh.”
“Jadi,
kau belum makan siang?”
“Belum.”
“Makanlah
dulu. Aku yakin kau tak ingin pingsan di hadapanku sehingga aku harus menggendongmu
pulang.”
Rosalie
tertawa. “Itu tak akan terjadi. Aku sudah membawa bekal.” Ia mengeluarkan kotak
makannya. “Kau mau? Aku membawa beberapa potong,” tawarnya sambil menunjukkan
beberapa tangkup sandwich isi acar
dan daging tuna. “Aku tau kau belum sempat menelan apapun saat jam makan
siang.”
“Kau
sungguh perhatian, Rose. Bahkan melebihi ibuku sendiri.”
“Jangan
menganggapku setua itu,” gerutu Rosalie.
“Dan
kalau kau cemberut seperti itu, kau bahkan terlihat lebih tua dari nenekku.”
Jonathan tertawa terbahak.
Rosalie
sendiri tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Bisakah kau berhenti
meledekku? Kau menyakiti hatiku, Jo.”
“Maaf,
maaf.” Jonathan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
“Kau
sendiri, apa yang kau dapat dari Mr. Hansen tadi?” tanya Rosalie setelah
menelan kunyahan pertama sandwich-nya.
“Entahlah.
Kurasa aku tertidur saat dia menceramahiku.”
“Jo,”
Rosalie tertawa. “Aku tak percaya itu. Itu bisa membuatnya makin murka.”
“Kau
benar. Dan hasilnya, aku mendapat skorsing 3 hari.”
“Skorsing?”
Rosalie nyaris tersedak.
“Ya.
Dan sekarang aku butuh bantuanmu, Rose. Maukah kau membacakan buku-buku
pelajaran untukku selama aku tak bersekolah?”
“Kenapa
tak kau baca sendiri?”
“Aku
terlalu malas untuk membaca jajaran kalimat dengan huruf-huruf kecil di buku.
Lagipula, akan lebih mudah menghafal apa yang kudengar.”
Rosalie
berdecak. “Kau sungguh merepotkanku.”
“Please?” Jonathan menggerak-gerakkan
alisnya.
“Kalau
aku setuju, apa yang akan kau berikan untuk membalas jasaku?”
“Mm,
apa yang kau minta.”
“Apapun?”
“Semoga
saja.”
“Kalau
begitu, aku minta kau tak akan pernah membolos lagi.”
“Wah,
aku tak bisa berjanji untuk masalah yang satu itu.”
“Kau
harus berjanji! Kalau tidak...”
“Baiklah,
baiklah. Tak perlu marah-marah begitu,” gerutu Jonathan.
Keduanya
melanjutkan makan dalam keheningan. Setelah Jonathan menelan suapan
terakhirnya, ia berdiri. “Kau tak membawa minum, kan?”
“Tidak.
Maaf.”
“Aku
akan membelikannya.” Jonathan berjalan ke pintu.
“Jo!”
panggil Rosalie.
“Ya?”
“Jangan
coba-coba membolos atau melarikan diri.”
“Jangan
menuduhku sembarangan, Rose,” keluh Jonathan lalu keluar ruangan.
***
“Jadi,
bagaimana dengan kelas matematikamu ini?”
“Mr.
Hansen tak mengatakan apa-apa soal itu.”
“Karena
kau juga tak bertanya,” dengus Rosalie.
“Jadi,
aku akan tetap berangkat ke sini pukul 2 siang,” kata Jonathan.
Rosalie
lalu memainkan lagu-lagu ringan sementara Jonathan mengerjakan soal-soal
matematika.
“Selesai!”
Jonathan menyerahkan pekerjaannya dan duduk di sebelah Rosalie. “Kau punya
kejutan apa untukku hari ini?”
“Kejutan
seperti apa yang kau harapkan?”
“Aku
harap kau mempunyai lagu yang hebat seperti kemarin. Atau mungkin kau masih
punya bakat menakjubkan lainnya?”
“Aku
tidak punya, Jo.”
“Yaah.”
Jonathan menatap Rosalie sejenak. “Bisakah kau membuat sebuah lagu untukku?”
“Kau
sungguh-sungguh memintaku melakukan itu?”
“Tentu
saja.”
“Akan
aku pikirkan di rumah. Dan, oh, biar adil, kau juga harus membuatkan sebuah
lagu untukku.”
“Aku
tak bisa bermain piano.”
“Tentu
saja dengan gitar, bodoh.”
“Hei,
kau sekarang berani mengataiku bodoh.”
“Biar
saja.” Rosalie menjulurkan lidah. “Lima hari. Cukup?”
“Mudah
saja.” Jonathan mengangguk.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar