Jumat, 18 Januari 2013

Just for a Moment (4)



Hari selanjutnya, sebelum bel masuk, Jonathan sengaja menemui Rosalie di loker gadis itu. Dilihatnya Rosalie sedang mengeluarkan klarinet dari dalam loker.
“Eh, hai, Jo?” sapa Rose, seperti biasa, sambil memamerkan senyum manisnya. “Sedang apa kau di sini?”
“Kebetulan lewat.”
“Jam pertama apa?”
“Bahasa Inggris. Kau sendiri?”
Rosalie mendekatkan klarinetnya ke wajah Jonathan. “Apa aku terlihat seperti akan membedah kodok di laboratorium dengan klarinet ini?”
Jonathan tertawa. Gadis ini, selalu bisa membuatnya tertawa. “Ya, ya. Aku tau. Kelas musik. Tapi kenapa kau memilih klarinet? Sementara kau adalah seorang dewi piano.”
“Tak usah memujiku. Aku hanya tertarik dengan klarinet. Aku ingin mencoba hal-hal yang baru.” Rosalie menutup pintu loker setelah mengambil buku partiturnya. “Oke. Sampai ketemu nanti siang.”
“Eh, tunggu sebentar, Rose!” Jonathan menangkap tangan Rosalie. “Sebenarnya, aku mau tanya. Apa nanti siang kita masih akan belajar di ruang musik lagi? Ehm, maksudku, kita tak akan belajar di ruang kelas lagi, kan?”
“Tentu saja. Kita akan bertemu di ruang musik lagi nanti siang.”
“Oh, baguslah.”
Rosalie menatap Jonathan dengan aneh, lalu senyum jahil terkembang di bibirnya. “Jo, bilang saja kau memang mencariku.”
“Eh, apa?”
“Kau sengaja datang menemuiku kan?”
“Tidak. Aku sudah bilang, aku hanya kebetulan lewat sini.”
“Aku tau kau bohong.” Senyum Rosalie makin lebar. “Oke, terserah kau saja lah. Tapi sepertinya sudah terlihat siapa yang akan kalah dalam taruhan yang dibuatnya sendiri.”

***

Kata-kata Rosalie membuat Jonathan kehilangan konsentrasi di kelasnya. Jujur saja, dia memang sengaja menemui Rosalie untuk sekedar melihat senyum gadis itu. Apa itu berarti sesuatu?
“Ck, aaah...” umpatnya jengkel dan tanpa sadar tangannya menggebrak meja.
“Ada yang salah, Jonathan?” tanya Mrs. Stacy tiba-tiba.
“Ya,” sahut Jonathan.
“Maukah kau memberitahu kami apa yang salah?” Mrs. Stacy berjalan mendekatinya dengan wajah galak.
“Ada yang salah dengan perut saya. Permisi.” Tanpa menatap gurunya lagi, Jonathan menyambar buku-bukunya di atas meja dan tas ranselnya, lalu berjalan keluar kelas. Ia menelusuri koridor dengan cepat sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Jo?” Mendadak ada yang menegurnya dari belakang. Suara gadis itu membuat Jonathan balik badan.
“Rose? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“Seharusnya aku yang bertanya.” Rosalie berjalan mendekat dan berhenti di hadapan Jonathan. Matanya menatap ransel cowok itu. “Sekarang belum bel pergantian pelajaran. Apa kau membolos?”
“Aku bosan di kelas bahasa Inggris. Dan aku heran deh. Setiap saat kita bicara menggunakan bahasa Inggris. Untuk apa dipelajari lagi? Yang penting kita bisa berkomunikasi dengan baik dan benar, kan?”
“Jo...” Rosalie memutar bola mata dengan jengkel. “Kau ini sungguh keterlaluan.”
“Tapi kata-kataku benar, kan?” Jonathan membela diri.
“Memang. Tapi...”
“Ayolah, Rose,” desah Jonathan. “Jangan menasihatiku lagi seolah aku ini anak balita yang selalu melakukan kesalahan dalam segala hal.”
Rosalie mengerutkan kening. “Bukankah memang begitu?”
Jonathan memajukan bibirnya dengan jengkel. Tanpa membalas kata-kata Rosalie, ia balik badan meneruskan langkah. Rosalie mengejarnya. Mereka berjalan dalam diam sepanjang koridor sekolah yang sepi.
“Jadi, sedang apa kau tadi? Kenapa tak di kelas?”
“Eh, ehm, aku...” Rosalie menjadi gugup. “Aku sedang ke toilet tadi.”
Jonathan meliriknya. “Kau pikir kau bisa membohongiku?”
“Apa maksudmu?” Rosalie tersentak.
Pucat di wajah gadis itu membuat Jonathan tertawa. “Aku tau apa tujuanmu keluar kelas.” Cowok itu tersenyum lebar. “Kau ingin membolos juga, kan?”
“Apa? Tidak! Itu tidak benar,” bantah Rosalie.
“Lalu, kenapa kau tidak kembali ke kelasmu? Kelas musik berlawanan arah dengan langkah kita sekarang.”
Saat Rosalie kehabisan ide untuk menjawab, tiba-tiba saja mereka berpapasan dengan Mr. Hansen, guru piket yang terkenal garang.
“Oh, sial,” umpat Jonathan.
“Jonathan! Kau membolos lagi!” bentak Mr. Hansen.
“Ya. Itu memang hobiku,” jawab Jonathan santai.
“Dan kau, Rosalie!” Mata tajam Mr. Hansen menyambar Rosalie.
“Anda tau Rosalie bukan siswa pembolos, Sir,” kata Jonathan, berusaha membela dan menghindarkan Rosalie dari masalah.
“Kenapa kau masih di sini?” tanya Mr. Hansen tanpa mempedulikan Jonathan.
“Maafkan saya, Sir. Saya baru saja akan keluar. Selamat pagi.” Rosalie mengangguk sopan dan melangkah pergi.
Jonathan menatapnya dengan bingung. “Apa dia...”
“Ikut saya sekarang!” potong Mr. Hansen dengan tegas.
“Oke, oke,” gerutu Jonathan.

***

Saat memasuki ruang musik siang itu, Rosalie terkejut mendapati Jonathan sudah duduk di dalamnya.
“Hei,” sapanya kaget. “Boleh aku tau ada masalah apa sehingga kau datang lebih awal dariku?”
“Ya.” Jonathan melipat tangan di depan dada. “Duduklah.”
“Pasti masalah di koridor pagi tadi.” Rosalie meletakkan tasnya dan duduk di hadapan Jonathan. “Tak perlu khawatir. Tadi pagi aku memang sudah izin ke guru piket untuk meninggalkan jam pelajaran.”
“Kemana? Sepanjang hari ini kau tak terlihat. Bahkan saat jam makan siang tadi.”
“Jo, kau mencariku?” Senyum jahil di bibir Rosalie seperti pagi tadi terkembang lagi.
“Yah, begitulah.” Jonathan mengangkat bahu dengan salah tingkah. “Aku hanya bertanya-tanya kemana kau pergi.”
“Aku menjenguk saudaraku di rumah sakit. Dan baru saja aku tiba di sini.”
“Kenapa lama sekali?”
“Rumah sakitnya jauh.”
“Jadi, kau belum makan siang?”
“Belum.”
“Makanlah dulu. Aku yakin kau tak ingin pingsan di hadapanku sehingga aku harus menggendongmu pulang.”
Rosalie tertawa. “Itu tak akan terjadi. Aku sudah membawa bekal.” Ia mengeluarkan kotak makannya. “Kau mau? Aku membawa beberapa potong,” tawarnya sambil menunjukkan beberapa tangkup sandwich isi acar dan daging tuna. “Aku tau kau belum sempat menelan apapun saat jam makan siang.”
“Kau sungguh perhatian, Rose. Bahkan melebihi ibuku sendiri.”
“Jangan menganggapku setua itu,” gerutu Rosalie.
“Dan kalau kau cemberut seperti itu, kau bahkan terlihat lebih tua dari nenekku.” Jonathan tertawa terbahak.
Rosalie sendiri tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. “Bisakah kau berhenti meledekku? Kau menyakiti hatiku, Jo.”
“Maaf, maaf.” Jonathan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
“Kau sendiri, apa yang kau dapat dari Mr. Hansen tadi?” tanya Rosalie setelah menelan kunyahan pertama sandwich-nya.
“Entahlah. Kurasa aku tertidur saat dia menceramahiku.”
“Jo,” Rosalie tertawa. “Aku tak percaya itu. Itu bisa membuatnya makin murka.”
“Kau benar. Dan hasilnya, aku mendapat skorsing 3 hari.”
“Skorsing?” Rosalie nyaris tersedak.
“Ya. Dan sekarang aku butuh bantuanmu, Rose. Maukah kau membacakan buku-buku pelajaran untukku selama aku tak bersekolah?”
“Kenapa tak kau baca sendiri?”
“Aku terlalu malas untuk membaca jajaran kalimat dengan huruf-huruf kecil di buku. Lagipula, akan lebih mudah menghafal apa yang kudengar.”
Rosalie berdecak. “Kau sungguh merepotkanku.”
Please?” Jonathan menggerak-gerakkan alisnya.
“Kalau aku setuju, apa yang akan kau berikan untuk membalas jasaku?”
“Mm, apa yang kau minta.”
“Apapun?”
“Semoga saja.”
“Kalau begitu, aku minta kau tak akan pernah membolos lagi.”
“Wah, aku tak bisa berjanji untuk masalah yang satu itu.”
“Kau harus berjanji! Kalau tidak...”
“Baiklah, baiklah. Tak perlu marah-marah begitu,” gerutu Jonathan.
Keduanya melanjutkan makan dalam keheningan. Setelah Jonathan menelan suapan terakhirnya, ia berdiri. “Kau tak membawa minum, kan?”
“Tidak. Maaf.”
“Aku akan membelikannya.” Jonathan berjalan ke pintu.
“Jo!” panggil Rosalie.
“Ya?”
“Jangan coba-coba membolos atau melarikan diri.”
“Jangan menuduhku sembarangan, Rose,” keluh Jonathan lalu keluar ruangan.

***

“Jadi, bagaimana dengan kelas matematikamu ini?”
“Mr. Hansen tak mengatakan apa-apa soal itu.”
“Karena kau juga tak bertanya,” dengus Rosalie.
“Jadi, aku akan tetap berangkat ke sini pukul 2 siang,” kata Jonathan.
Rosalie lalu memainkan lagu-lagu ringan sementara Jonathan mengerjakan soal-soal matematika.
“Selesai!” Jonathan menyerahkan pekerjaannya dan duduk di sebelah Rosalie. “Kau punya kejutan apa untukku hari ini?”
“Kejutan seperti apa yang kau harapkan?”
“Aku harap kau mempunyai lagu yang hebat seperti kemarin. Atau mungkin kau masih punya bakat menakjubkan lainnya?”
“Aku tidak punya, Jo.”
“Yaah.” Jonathan menatap Rosalie sejenak. “Bisakah kau membuat sebuah lagu untukku?”
“Kau sungguh-sungguh memintaku melakukan itu?”
“Tentu saja.”
“Akan aku pikirkan di rumah. Dan, oh, biar adil, kau juga harus membuatkan sebuah lagu untukku.”
“Aku tak bisa bermain piano.”
“Tentu saja dengan gitar, bodoh.”
“Hei, kau sekarang berani mengataiku bodoh.”
“Biar saja.” Rosalie menjulurkan lidah. “Lima hari. Cukup?”
“Mudah saja.” Jonathan mengangguk.



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar